Jangan Sebut Namaku
Karya Niken Haidar
Part 1
Sssstttttt
!........
Sssstttttt
! Lamat-lamat terdengar di telinggaku bisik-bisik tetangga, memandangku curiga.
Mata mereka seperti menelanjangi seluruh tubuh , bulu ari-ari terasa
menggelitik. Tatap mereka lalang menusuk jantung. Tiap jejak langkah yang kutinggalkan
seakan membekas di jalanan tanah berbatuan kerikil tajam ini. Sudah tak terasa
lagi berapa ratus bahkan mungkin sudah jutaan kerikil tajam memakan telanjang
kaki. Susuri jalanan ujung kampung menuju pinggir hutan yang teramat sunyi,
jarang terjamah warga kampung. Sudah banyak cerita yang masuk di otak tentang
hutan ini, sebelum kukunjungi hampir tiap hari. Kampungku memang sebuah kampung
yang masih terletak di pinggiran hutan lindung, jarang sekali warga yang
memasuki ke wilayah dalam. Pepohonan rindang masih berdiri kokoh di samping
kiri kanan jalan setapak. Gurat-gurat ulir kayunya seperti meringgis
mengisahkan perjalanan hidup siapa saja yang pernah lalui jalanan setapak ini.
Terobos
sinar matahari makin kedalam hutan makin redup, tak sedetikpun ketakutan
menghinggapi benakku. Semilir angin terasa dingin lembut meraba kulit yang
terbungkus gaun biru pemberian peninggalan ibu yang masih ku rawat bak pusaka,
seperti perisai pelindung kemanapun aku pergi. Sejuk tenang damai terasa. Suara
kicau burung-burungpun merdu menyambut kedatanganku.
Kutatap
sekeliling lembah sunyi pinggir sungai gemericik, tetesnya selaras melodi detak
jantung. Hela nafas kuraup udara penuh oksigen alami. Jauh bising polusi. Damai
terasa jauh dari bisik-bisik menggorek merah telingga yang terkadang hampir
saja memutahkan naga dalam diriku.
Srrreeetttt
!
Srrrrreeett
!
Srrrrrreet
! Terdengar lembut merayu gerit sapu lelaki tua renta, membersihkan halaman
gubuk tua nan kokoh berdiri di pinggir bantaran sungai. Gemericik lirih arus
sungai membuat syahdu suasana hati.
“Hari
sudah hampir menjelang malam kenapa kamu kemari Ndhuk !” tanya lelaki tua
itu,dan menghentikan gerak-gerik gurit sapunya. Yang biasanya ku panggil ayah.
Walaupun dia hanya ayah tiri, tetapi perhatian dan kasih sayangnya seperti
ayahku sendiri yang telah tiada.
Aku
hanya tersenyum memandangnya. Tak sebuah kata yang bisa terucap dari mulutku.
Ku sapu pandangan ke seluruh penjuru. Tempat ini semakin asri saja. Semenjak
ayah memutuskan memilih untuk tinggal sendirian di hutan ini.
“Aku
kepingin ngabekti nang(kepada) Hyang Gusti (Allah SWT), dan merawat
pusara ayah ibumu ndhuk,”kata ayah sepuluh tahun yang lalu. Kutatap raut ayah
sekarang sudah semakin renta. Sudah beribu kali ku bujuk untuk kembali tinggal
di kampung beliau tidak mau. Hanya tersenyum tipis yang di berikan.
“Coba
rasakan Ndhuk di sini terasa damai, jauh dari polusi udara, polusi isu-isu
politik, duniawi yang merajai masa kini.”katanya setahun lalu sambil mengambil
duduk berdampingan denganku di bangku bambu karyanya sendiri. Seperti sekarang
ini, terdiam kami duduk menatap rimbun dan asrinya pepohonan yang melindungi
gubuk ini. Di samping gubuk berjejer sepasang pusara ayah ibu yang terawat
bersih dengan nisan batu ukiran ayah tiriku.
Joglo01052022