Minggu, 01 Mei 2022

Novel

 Jangan Sebut Namaku

Karya Niken Haidar




Part 1

Sssstttttt !........

Sssstttttt ! Lamat-lamat terdengar di telinggaku bisik-bisik tetangga, memandangku curiga. Mata mereka seperti menelanjangi seluruh tubuh , bulu ari-ari terasa menggelitik. Tatap mereka lalang menusuk jantung. Tiap jejak langkah yang kutinggalkan seakan membekas di jalanan tanah berbatuan kerikil tajam ini. Sudah tak terasa lagi berapa ratus bahkan mungkin sudah jutaan kerikil tajam memakan telanjang kaki. Susuri jalanan ujung kampung menuju pinggir hutan yang teramat sunyi, jarang terjamah warga kampung. Sudah banyak cerita yang masuk di otak tentang hutan ini, sebelum kukunjungi hampir tiap hari. Kampungku memang sebuah kampung yang masih terletak di pinggiran hutan lindung, jarang sekali warga yang memasuki ke wilayah dalam. Pepohonan rindang masih berdiri kokoh di samping kiri kanan jalan setapak. Gurat-gurat ulir kayunya seperti meringgis mengisahkan perjalanan hidup siapa saja yang pernah lalui jalanan setapak ini.

Terobos sinar matahari makin kedalam hutan makin redup, tak sedetikpun ketakutan menghinggapi benakku. Semilir angin terasa dingin lembut meraba kulit yang terbungkus gaun biru pemberian peninggalan ibu yang masih ku rawat bak pusaka, seperti perisai pelindung kemanapun aku pergi. Sejuk tenang damai terasa. Suara kicau burung-burungpun merdu menyambut kedatanganku.

Kutatap sekeliling lembah sunyi pinggir sungai gemericik, tetesnya selaras melodi detak jantung. Hela nafas kuraup udara penuh oksigen alami. Jauh bising polusi. Damai terasa jauh dari bisik-bisik menggorek merah telingga yang terkadang hampir saja memutahkan naga dalam diriku.

Srrreeetttt !

Srrrrreeett !

Srrrrrreet ! Terdengar lembut merayu gerit sapu lelaki tua renta, membersihkan halaman gubuk tua nan kokoh berdiri di pinggir bantaran sungai. Gemericik lirih arus sungai membuat syahdu suasana hati.

“Hari sudah hampir menjelang malam kenapa kamu kemari Ndhuk !” tanya lelaki tua itu,dan menghentikan gerak-gerik gurit sapunya. Yang biasanya ku panggil ayah. Walaupun dia hanya ayah tiri, tetapi perhatian dan kasih sayangnya seperti ayahku sendiri yang telah tiada.

Aku hanya tersenyum memandangnya. Tak sebuah kata yang bisa terucap dari mulutku. Ku sapu pandangan ke seluruh penjuru. Tempat ini semakin asri saja. Semenjak ayah memutuskan memilih untuk tinggal sendirian di hutan ini.

“Aku kepingin ngabekti nang(kepada) Hyang Gusti (Allah SWT), dan merawat pusara ayah ibumu ndhuk,”kata ayah sepuluh tahun yang lalu. Kutatap raut ayah sekarang sudah semakin renta. Sudah beribu kali ku bujuk untuk kembali tinggal di kampung beliau tidak mau. Hanya tersenyum tipis yang di berikan.

“Coba rasakan Ndhuk di sini terasa damai, jauh dari polusi udara, polusi isu-isu politik, duniawi yang merajai masa kini.”katanya setahun lalu sambil mengambil duduk berdampingan denganku di bangku bambu karyanya sendiri. Seperti sekarang ini, terdiam kami duduk menatap rimbun dan asrinya pepohonan yang melindungi gubuk ini. Di samping gubuk berjejer sepasang pusara ayah ibu yang terawat bersih dengan nisan batu ukiran ayah tiriku.

Joglo01052022


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Sprig of Carnations

  By Niken Haidar                                                                     ilustrasi google A sprig of carnations you gave me...