By Niken Haidar
Menjadi
seorang istri yang juga bekerja menjadikan aku seorang yang harus bisa menggelola pikiran dan tenaga bukan hanya keuangan dan keluarga. Suami dan
saya memiliki pekerjaan yang sama menjadi seorang guru tetapi di tempat dan
jenjang yang berbeda. Kami sama-sama bergerak di bidang seni hanya berbeda
alur, aku lulusan seni tari sedangkan suami lulusan seni rupa, ada imbal
baliknya ketika kami mengajar apabila ada ketidaktahuan di bidang yang dulunya
tidak ada di pembelajaran ,kami saling berbagi untuk meningkatkan pengetahuan
selain juga harus selalu mengikuti perkembangan pendidikan melalui buku dan
internet. Tipe prefectionis adalah milik suami, sedangkan aku lebih
menyandarkan semuanya di semaksimal mungkin usaha, kekurangan dalam pekerjaan
adalah kewajaran yang penting kita sudah melakukan yang terbaik. Bila ada
masalah apapun bukan keputusan yang terambil secara tergesa tetapi rangkaian
jalan yang terbaik yang selalu aku coba menguraikan, mungkin juga karena
terbiasa lama mengajar di berbagai lembaga sekolah mulai tingkat anak, sekolah
dasar, menengah hingga pernah memberikan materi diklat ibu-ibu guru , yang
problematikanya beraneka ragam.
Problem
hidup melanda kami di tengah-tengah kesuksesan suami membimbing prestasi
siswa-siswinya. Rasa senang dan bahagianya beliau ketika mengerjakan proyek
kesenian bersama dengan putra kami yang juga memiliki darah seni di musik dan
rupa, sehingga melenyapkan rasa lelah yang melanda suami. Semangat yang bisa
dikatakan menggebu-gebu melupakan kesehatan yang harus di jaganya, nota bene
suami memiliki keturunan tekanan darah tinggi dan jantung.Tak pelak tepat di
tengah proses mengerjakan proyek suami jatuh sakit yang awalnya hanya di anggap
ringan, tekanan darahnya naik itu saja. Hingga di satu sore sebelum hari ulang
tahunku bukan hadiah yang kuterima , malah detik mendebarkan merangkul lemah
suamiku yang lunglai hampir tak sadarkan diri di dalam kamar tidak bisa
mengucapkan kata-kata. Dengan di bopong bersama dengan putraku, kami naikkan
suami ke dalam mobil, dan sesekali ku sebut namanya agar tidak pingsan. Begitu
memasuki di unit gawat darurat saat menjalani observasi dulu sesaat sebelum
memasuki kamar opname di situlah tak ada seorangpun yang menungguinya karena saya harus menggurusi
administrasi aku tidak tahu ketika memasuki kamar beliau hanya tidur dengan
tenangnya. Ternyata di situlah terjadinya infrag berhentinya aliran oksigen ke
otak yang biasanya di sebut orang awan stroke.
Meraba-raba
apa yang sedang dialami oleh suamiku karena tidak ada kejelasan, penyakitnya
apa, sedangkan sudah seharian penuh suamiku tak bangun hanya tertidur lelap.
Setelah hari berikutnya bangun hanya tetesan air mata dari suamiku yang keluar
tak ada sepatah katapun yang terucap sedangkan aku sendiri tidak tahu apa yang
ingin di ungkapkan. Hanya duduk diam menunduk yang di lakukan ketika bangun,
jalan tertatih, dan seolah seperti anak bayi lagi. Tak ingat orang perorang
siapa saja yang mengunjunginya. Antara ingatan sadar dan tidaknya hanya pulang
dan sekolah yang di ingatnya. Ketika di tanya beliau merasa bangun tidur dari
kamarnya sendiri , mengapa bisa berada di rumah sakit. Rasa sesak dalam dada
tak bisa kutumpahkan dalam tanggisan karena aku harus tegar di depan
anak-anakku yang masih kecil. Meski terkadang di malam sholatku tak terasa
tetesan embun menetes dari pelupuk mata. Genap satu minggu opname di rumah
sakit tak bisa sembuh seratus persen seperti sediakala. Di rumah inilah peran
istri peran perawat merangkap psikiater harus kulakukan sambil belajar dari
internet. Sakit apakah suamiku? Masih menjadikan sebuah pertanyaan yang tak ada
jawabannya karena ketika kontrol tensi dan yang lainnya normal tetapi mengapa
beliau lemah lunglai seperti orang yang tak ada semangat hidup sama sekali.
Semakin
hari suara dan senyum suamiku semakin menghilang. Petikan gitarnya rengkuh
lembutnya, tawa riang membahana hilang lenyap, tinggal tatapan sayu kosong tak
ada gairah kehidupan. Hal ini membuatku
tidak bisa membuatku bekerja dengan nyaman, beliau seperti bayi yang takut ku
tinggalkan. Sering kali di waktu jeda jam mengajar ku sempatkan pulang dulu
meski lokasi rumah dengan seolah kurang lebih berjarak 15 kilo meter,
menenggoknya, memeluknya ataupun mengelusnya, memberikan kedamaian. Hampir dua
minggu kata yang terucap masih terbata-bata, dengan membaca buku dan browsing
sisi-sisi penyebab dan penanggulangan stroke, aku melakukan terapi psikologis
sendiri setiap hari dengan jalan bercerita dan mengajak suami setiap hari untuk
menginggat-ingat segala romantika perjalanan hidup yang kita lalui bersama
disaat dulu kuliah dengan sedikit-demi sedikit mengulangi sejauh mana ingatan
beliau. Tak bisa kubayangkan sebegitu hebatnya hilang memory suamiku seakan
lenyap di telan bumi seakan kosong yang di pikirkan.
Di
tengah ke galauku Allah memberikan jalan lewat saudara yang berprosesi sebagai
perawat mengajak konsultasi ke dokter jiwa atau psikiater. Dheg ! seolah
berhenti detak jantungku. Tetapi yang kupikirkan terbaca oleh saudaraku, yang mengatakan
tidak semua orang yang datang ke psikiater adalah orang stress atau gila, ke
dokter psikiater adalah solusi psikologi bagi siapapun yang terkena penyakit
terutama stroke.
Sore itu kami akhirnya konsultasi ke
dokter psikiater, dengan menggenggam tanganku erat kami memasuki ruang dokter.
Barulah ku tahu di mana kejanggalan yang membuat kelinglungan yang selama ini
diindap penyakit suamiku. Dokter menyarankan untuk cityscan otak, biar kita
tahu separah apakah derita stroke yang dialaminya. Malam itu juga dengan
menuruti nasehat dokter akhirnya kami memasukan suami opname di salah satu rumah sakit yang memiliki alat
cityscan. Besok harinya di jelaskanlah apa penyebab hilangnya ingatan suamiku,
ternyata di otaknya ada setitik pembekuan darah disebabkan aliran oksigen ke
otak terhenti kemungkinan kelelahan , kurang asupan air minum dan terlalu
banyak merokok. Dalam hatiku berkata hanya setitik nota di otak begitu hebatnya
kerusakkan yang terjadi. Setitik kelalaian menjaga diri sendiri sebegitu
hebatnya resiko yang melanda. Subhanallah, begitu hebatnya sel-sel yang
terkoordinir di setiap raga ini. Sambil menunggui opname selalu ku sempatkan
untuk mencari tahu solusi-solusi yang terbaik untuk menangulanginya dari
membaca atau browsing, hingga obat apapun aku harus tahu fungsinya untuk apa,
karena begitu banyak obat yang harus diminum. Belum satu minggu di tengah
kesadaran suamiku mulai timbul beliau memaksa pulang, ku katakan kalau masih
harus tinggal dua hari lagi di rumah sakit , amarahlah yang kuterima. Sabar dan
diam hanya itu kata yang selalu ku coba ingat dalam hatiku. Kudatangi admin
rumah sakit aku mengajukan surat paksa pasien pulang. Rasa tak sabar
menyelimuti suamiku, infus di cabut sendiri keluar masuk pintu kamar ingin
segera pulang, marah-marah di lakukan, diam dan diam yang bisa kulakukan karena
bila banyak kata yang kuucapkan akan semakin menyulut kemarahan.
Tiba
di rumah kami mendapatkan teman dan saudara yang mengunjungi dengan berbagai
saran yang mengajak berobat kesana dan kemari dengan berbagai cerita, terima
kasih kuucapkan begitu banyak yang pehatian kepada kami. Bukannya kami sombong
ataupun kami malas, kami benar-benar ingin menyembuhkan suami dengan pengobatan
yang benar bukan karena katanya. Dari kami chatting dari kakak suami memberi
info obat herbal dari negeri cina untuk di minumkan. Kucari di apotik di kotaku
tak ada satupun yang berjualan, begitu sulitnya obat yang kucari,
Alhamdullillah di Surabaya kami mendapatkannya. Malam harinya ku minumkan obat
tersebut. Saat bangun pagi tergopoh-gopoh aku mencarinya, karena biasanya
selalu membangunkanku bila akan keluar kamar karena tidak bisa berjalan tanpa
ku genggam tangannya, kuteriakkan namanya aku takut beliau jatuh di kamar
mandi. Alhamdullillah sambil tersenyum beliau menjawab panggilanku dan berkata
aku sudah bisa berjalan lagi dan memelukku. Syukur tak terhingga yang ku
panjatkan kepadaNya. Mulai sedikit demi sedikit rasa kepercayaan dirinya timbul
dan keinginan sembuhnya sangat besar. Berobat tetap rutin di lakukan sambil
juga terapi senam otak, terapi bicara yang dapat ku bimbing sendiri hanya
terapi akupuntur dan pijat syaraf aku tak berani kulakukan masih membutuhkan
jasa orang lain. Berangsur-angsur dengan pasti kesembuhan mulai nampak meski
tidak langsung sembuh seperti sedia kala, harus tetap menjaga kesehatan pola
makan dan pola tidur. Sekarangpun masih ku ajak untuk terus menggali pengetahuan
apapun dari kusodori membaca antalogi cerpen, hingga browsing pendataan apapun
yang berkenaan dengan pembelajarannya dalam proses belajar mengajar. Satu hal
yang menguatkan kami bersama sederas ombak gelombang hidup bila kita saling
bersyukur kepadaNya dan mengenggam tangan bersama InsyaAllah jalan akan terang.Namun takdir lebih berpihak pada umat yang
mencinta Kekasih Abadi-Nya, kembali pada-Nya dengan cinta abadi.(Al fatehah
untuk Mas Imam Efendi yang telah kembali padaNya, Allah lebih mencintainya
memberikan rasa sakit sebagai rasa cinta-Nya, selamat mimpi indah suamiku dalam
tidur panjangmu)
cobaan tanda kasih sayang dari-Nya
BalasHapusjanganlah merasa sepi kak
BalasHapusikut trenyuh kak
BalasHapussalut kak
BalasHapus